wayang kulit cirebon : Barata


Barata

Nama lain : Raden Barata
                     Prabu Citrawirya
                     Raden Astabrata
Nama Ayah : Prabu Sentanudewa
Nama Ibu : Dewi Durgandini
Nama istri : Dewi Kunti Nalireja
Nama anak : Raden Drestarata
Jabatan : Putra Mahkota
Tempat : Negara Astina

        Raden barata adalah putra Prabu Sentanudewa dari perkawinannya dengan Dewi Durgandini. Barata adalah Putra Mahkota yang sudah direncanakan sebagai pewaris tunggal tahta Kerajaan Astina. Walaupun sebenarnya Astina adalah milik Abiyasa karena ia putra dari Prabu Palasara, pendiri negara Astina.
        Dengan murkanya Prabu Sentanudewa berambisi ingin menguasai negara sampai turun temurun. Bahkan bukan hanya tahta yang dikukuhinya akan tetapi istri Abiaya pun direbutnya untuk Barata.
        Atas hasutan Perbata, Prabu sentanudewa meminta Dewi Kunti Nalireja dari Abiyasa, untuk dikawinkan dengan anaknya yaitu Raden Barata.
        Demi menghormati ibunya yaitu Dewi Durgandini Dopayana Menyerahkan Dewi Kunti Nalireja kepada adik tirinya yaitu Raden Barata, lalu dikawinkannya Barata dengan Dewi Kunti Nalireja.
        Kedatangan Dopayana di Astina atas perintah ayahandanya dengan maksud menanyakan perihal tahta kekuasaan Astina kapan akan diserahkan kepada yang berhak yaitu Dopayana. Karena sesuai dengan perjanjian dahulu bahwa Begawan Palasara mengijinkan Sentanu menjadi Raja Astina sementara Dopayana masih kecil, namun kelak dikemudian hari bilamana Dopayana telah dewasa maka  Dopayanalah yang berhak menduduki tahta Astina.
        Prabu Sentanudewa mengingkari perjanjian itu, malah Dopayana diusirnya dari istana. Ibunda Durgandini tidak bisa menahan kemurkaan Prabu Sentanudewa.
        Setelah keluar meninggalkan istana, Dopayana tidak berani menceritakan hal itu kepada ayahandanya yaitu Begawan Palasara, malah ia menuju ke negeri Wirata meminta pertolongan kepada Prabu Mangsopati atau Durgandana.
       Prabu Mangsopati datang ke Astina turut menasehati namun Prabu Sentanudewa menolak dengan garang ia tidak akan menyerahkan tahta Astina kepada siapapun. Pradu Mangsopati sangat terpukul hatinya, terjadilah perdebatan yang berlanjut dengan peperangan.
       Peperangan antara Astina dan Wirata tak terhindarkan, dengan ketangguhan bala tentara Astina dan Kesaktian Prabu Sentanudewa bala tentara Wirata dipukul mundur. Prabu Mangsopati meminta pertolongan kepada ayahandanya yaitu Basukiswara.
      Datanglah Prabu Basukiswara yang ia adalah mertua Prabu Sentanudewa dengan maksud yang sama untuk meminta hak Dopayana. Prabu Sentanudewa menolak dengan geram, ia tidak memperdulikan siapa yang datang untuk meminta tahta Astina, ia mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.
      Sentanudewa tidak memperdulikannya bahkan ia menantang Begawan Palasara untuk bertanding perangdi medan laga.
      Prabu Basukiswara tidak sabar melihat kemurkaan Prabu Sentanudewa, lalu ia melaporkannya kepada Begawan Palasara untuk mengambil haknya sendiri.
       Pada awalnya Palasara sudah merelakan tahta kepada Sentanu karena ia berpendapat: “Apa artinya peperangan dalam merebut tahta jabatan kalau akhirnya dapat memutuskan tali persaudaraan dan mengorbankan masyarakat”.
      “Sura Dira Jaya Ningrat Sirna Dening Pangastuti”  adalah ketentuan hukum alam, bahwa angkara murka akan sirna oleh kebenaran yang hakekat.
       Datanglah dewa menyeru agar Palasara mengakhiri angkara murka Sentanudewa, terjadilah peperangan seru yang mengakibatkan gugurnya Sentanudewa oleh Palasara.
       Sebelum Sentanudewa meninggal dunia, ia pernah menurunkanatau mengajarkan ilmu aji pamungkas yaitu Aji Kumbalageni kepada cucunya yang masih dalam kandungan Dewi Kunti Nalireja.
      Dewa tahu hal itu maka Betara Wisnu memoles mata sang  jabang bayi yang ada dalam kandungan Dewi Kunti Nalireja agar kelak bayi itu lahir tidak dapat menggunakan matanya untuk membuat kerusakan di muka bumi ini.
       Sepeninggalnya Prabu Sentanudewa, tampuk kekuasaan Astina diambil alih oleh Raden Barata sebagai putra mahkota yang sudah dipersiapkan sebagaipengganti ayahnya.
       Tidak lama kemudian, dalam waktu empat bulan penobatan dirinya sebagai Raja Astina, Prabu Barata jatuh sakit sampai akhirnya wafat, ia meninggalkan seorang istri yang sedang hamil.
       Dengan wafatnya Barata, ibunda Dewi Durgandini merasa khawatir terhadap kelangsungan tahta kekuasaan negara Astina. Teringatlah pada Abiyasa yaitu anak perkawinannya dengan Begawan Palasara.
       Abiyasa diminta untuk meneruskan tampuk kekuasaan negara Astina dan melanjutkan untuk memperistri Dewi Kunti Nalireja yang dalam keadaan hamil.
       Abiyasa menerima permintaan ibundanya, tetapi ia tidak mau menyentuh istriya sebelum lahir.
     Kelak Dewi Kunti Nalireja melahirkaan seorang anak laki-laki dari suami Raden Barata, anak tersebut diberi nama Raden Drestarata.###
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Kulit Cirebon: Ganggawati

wayang kulit cirebon: Palasara